SURABAYAONLINE.CO-Empu Supo Madrangi alias Raden Joko Supo adalah putra dari Pangeran Sedayu yang memiliki keahlian membuat keris. Empu Supo Madrangi adalah suami dari. Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijogo. Ia adalah Empu (Ahli keris) kerajaan Majapahit yang hidup di sekitar abad ke 15. Karya karyanya yang termasyhur antara lain Keris Kyai Nagasasra, Kyai Sengkelat dan Kyai Carubuk.
Sebelum menikah dengan Dewi Rasawulan, Empu Supa beragama Hindu kemudian memeluk agama Islam setelah berdialog dengan Sunan Kalijogo. Dalam satu legenda dikisahkan Sunan Kalijogo meminta tolong untuk dibuatkan keris coten-sembelih (pegangan lebai untuk menyembelih kambing). Lalu diberikan calon besi yang ukurannya sebesar biji asam jawa.
Mengetahui besarnya calon besi tersebut, Empu Supo sedikit terkejut. Ia berkata besi ini bobotnya berat sekali, tak seimbang dengan besar wujudnya dan tidak yakin apakah cukup untuk dibuat keris. Lalu Sunan Kalijogo berkata kalau besi itu tidak hanya sebesar biji asam jawa tetapi besarnya seperti gunung.
Karena ampuh perkataan Sunan Kalijogo, pada waktu itu juga besi menjelma sebesar gunung. Setelah jadi keris, kemudian diserahkan kepada Sunan Kalijogo. Begitu melihat bentuknya, Sunan Kalijogo menjadi kaget karena kagum dan hasil jadi keris itu berbeda jauh sekali dengan yang dimaksudkan. Maksud semula untuk dijadikan pegangan lebai, ternyata yang dihasilkan keris Jawa (baca Nusantara) asli Majapahit, luk tiga belas. Karena berwarna kemerahan, keris itu dinamakan Kyai Sengkelat (artinya bersemu merah) sedangkan jumlah luknya ada tiga belas.
Lalu Empu Supo diberi lagi besi yang ukurannya sebesar kemiri. Setelah dikerjakan, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan, sunan Kalijogo sangat senang dan dinamakan Kyai Carubuk. Pada suatu hari Sunan Kalijogo hendak pergi ke Cirebon untuk menemui Sunan Gunung Jati. Dalam perjalanan ditemani beberapa santri dan prajurit Demak yang ikut. Termasuk Raden Joko Supo, Ki Ageng Malang Gati, Syeh Nur Samsudin dan Ki Ageng Bantar Bolang.
Perjalanan rombongan Sunan Kalijogo pun sampai di perbatasan Kadipaten Siraung setelah melewati hutan yang bernama Alas Siroban (Sekarang Alas Roban). Adipati Siraung yang belum mengakui Kesultanan Demak tidak mengijinkan rombongan tersebut melewati wilayahnya sehingga Sunan Kalijogo memutuskan bermalam di Timur Wilayah Siraung.
Pada suatu malam Sunan Kalijogo melakukan sholat malam dan bermunajat pada Sang Khalik, terjadilah peristiwa aneh di mana di bekas tapak kaki Sunan Kalijogo ditemukan besi pamor sebesar buah sawo. Besi tersebut diserahkan pada Raden Joko Supo untuk dibuat menjadi sebuah keris. Setelah selesai dan jadi keris kemudian diserahkan pada Sunan Kalijogo yang memberikan nama pada keris tersebut sebagai keris Kyai Tapak.
Keajaiban terjadi lagi, Kadipaten Siraung beserta Adipati dan rakyatnya telah lenyap dan wilayah Siraung menjadi lautan. Sunan Kalijogo lantas memberikan nama tempat tersebut dengan nama Pemalang dan memerintahkan Ki Ageng Malang Gati untuk memimpin wilayah tersebut disertai Syeh Nur Samsudin. Keris luk 13 yang bernama Kyai Tapak diserahkan kepada Kyai Ageng Malang Gati.
Sampai jaman pendudukan jepang pusaka itu masih berada di pendopo kabupaten Pemalang namun setelah itu tidak lagi diketahui keberadaannya sampai sekarang. Sunan Kalijogo pun melanjutkan perjalanan beliau ke Cirebon tanpa ada halangan berarti hingga kembali lagi ke Demak Bintoro Suatu ketika terjadi perpecahan politik antara Ratu Kalinyamat dengan Aryo Panangsang Adipati Jipang Panolan.
Raden Joko Supo yang tidak ingin terlibat di dalam kancah politik memohon petunjuk dari Sunan Kalijogo yang memberikan dawuh, “Supo Jeneng Siro saiki budalo menyang dusun Sumyang jimpe netepo ing papan kono anggawe pusoko lan nunggu dawuh ingsun naliko wis ono pepadang ing prodjo.” Di tempat yang baru tersebut Empu Supo membuat keris yang diberi tulisan nama Dusun Sumyangjimpe dalam aksara Jawa.
Keris Umyang
Di dusun tersebut Empu Supo membabar keris yang diberinya ornamen pada bagian gandhik kanan kiri yang dalam pakem keris di kenal sebagai DhapurPuthut, baik tanpa luk maupun yang berluk.
Jaman sekarang banyak orang yang membicarakan tentang keris Umyang yang sesungguhnya bersal dari kata Sumyang, namun hanya sedikit orang yang tahu sejarahnya. Saat perseteruan politik di Demak berakhir dan tahta jatuh kepada Joko Tingkir menantu Sultan Trenggono (Putera Raden Patah), Raden Joko Supo di perintahkan oleh Sunan Kalijogo untuk mengabdi ke Pajang dengan membawa bukti keris buatannya.
Empu Joko Supo sowan ke Pajang dengan maksud untuk mengabdi dan menyerahkan bukti sebilah pusaka. Pada saat itu Sultan Hadi Wijoyo sedang memeriksa seorang tersangka dan terpidana, dengan wasilah pusaka keris Sumyang jimpe yang dibawa Empu Djoko Supo, tersangka tersebut ngomyang (bicara tanpa kendali) dan kasus tersebut selesai karena pengakuan dari tersangka sendiri.
Pisowanan Empu Djoko Supo diterima oleh Sultan Hadi Wijoyo. Keris pusaka beserta Empunya di anugrahi gelar dan nama yang sama yaitu keris Kyai Umyang dan Empu Kyai Umyang. Sekedar tambahan Letak keberadaan makam Empu Supo diyakini ada di beberapa tempat Antara lain Gresik, Tuban dan lain lain .
Gresik sendiri ada dua makam Mpu Supo yaitu berada di situs sejarah Giri Kedaton dan kawasan Gua Surowiti. Untuk Makam Mpu Supo yang ada di situs Giri Kedaton itu tak berbeda dengan makam-makam kuno lainnya. Andai tak ada papan nama bertuliskan Makam Mpu Supo, mungkin makam itu tak akan menarik perhatian pengunjung Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa di Gresik ada dua makam yang berbeda untuk sosok yang sama? Namun untuk pastinya lokasi makam, belum bisa di tentukan karena masing masing mengklaim asli. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang sejarah.(*)