SURABAYAONLINE.CO-Bali sebagai destinasi wisata andalan Indonesia sudah terbukti menarik banyak turis lokal maupun asing. Tapi, siapa sangka di balik upaya mendongkrak ekonomi masyarakat, memunculkan dampak negatif. Salah satunya menyasar siswi SMK yang melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Sebagian di antara mereka terjerumus menjadi korban eksploitasi seksual.
Soal dampak negatif sektor pariwisata menjadi fokus perhatian Alit, LSM yang aktif di dunia perlindungan anak. Yuliati Umrah, direktur Alit, Sabtu (18/1) di kafe ASA Renon Bali menyampaikan dampak negatif ini dalam diskusi publik yang dihadiri psikolog, pendidik, pelaku usaha, serta Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali.
“Kami tidak menolak program pemerintah untuk menggalakkan sektor pariswisata, bahkan sangat mendukung. Namun, pemerintah harus membuat aturan sehingga anak-anak tidak sampai menjadi korban,” ujar Yuliati.
Yuliati menyampaikan masalah serius yang dihadapi siswi SMK. Saat ini, makin banyak di antara anak-anak yang tengah ikut magang di hotel, spa, atau tempat hiburan terjerumus menjadi korban seks komersial. Kisah miris ini terjadi di luar jam magang. Banyak hal menjadi penyebab mengapa sampai terjadi yaitu:
Pertama, secara mental anak magang atau PKL belum siap mengingat mereka masih kategori usia anak.
Kedua, jauh dari pengawasan orangtua. Sebagian besar anak PKL di Bali adalah siswa SMK dari Jawa Timur. Ketiga, pihak hotel, spa atau tempat hiburan yang menjadi tempat magang hampir semua tidak memberi upah pada mereka.
“Bisa dibayangkan, sudah secara mental belum siap, jauh dari pengawasan keluarga, mereka tidak memiliki uang cukup untuk bertahan. Jadi, mereka dengan mudah terpikat ketika ada lelaki yang mengajak kencan,” papar Yuliati.
Peraturan Baru Soal Magang
Yuliati melihat bahwa keberadaan anak magang menjadi keuntungan bagi pengusaha hotel. Mereka memanfaatkan tenaganya semaksimal mungkin tanpa memberikan upah. “Coba lihat saja, mulai dari petugas kamar, pramusaji, petugas taman, atau pekerja bawahan lain itu kan rata-rata anak-anak magang,” jelas Yuliati.
Bahkan, Yuliati pernah menemukan kasus anak SMK yang magang di sebuah hotel berbintang melakukan pekerjaan melebihi batas kewajaran. Dia menjadi pramusaji di hotel sejak pagi hari sampai malam hari. Keesokan paginya juga masih berlanjut lagi.
“Saya yakin ini ada korelasinya mengapa hotel-hotel di Bali sekarang menjadi sangat murah. Ini terjadi karena memang sebagian tenaga kerjanya dilakukan oleh anak magang yang notabene tidak dibayar,” papar Yuliati.
Perempuan yang sudah terjun 23 tahun terjun di lembaga perlindungan anak ini mengajak semua pihak untuk menggelorakan isu tersebut. Bagi Yuliati hal ini problem serius yang mesti mendapat perhatian. Ia sekaligus mengajak berbagai pihak terkait mencari format untuk mendorong pemerintah agar membuat sebuah aturan baku agar dunia pariwisata berkembang dengan baik tanpa mengorbankan anak-anak.
“Memang dunia pariwisata harus maju. Ekonomi masyarakat juga harus ditingkatkan. Akan tetapi tetap ingat jangan sampai menghancurkan masa depan anak-anak kita,” tambah Yuliati.
Pemerintah harus segera membuat kebijakan tentang magang. Misalnya saja, magang cukup dilakukan di kotanya sehingga anak-anak selalu terkontrol oleh orangtua. “Pokoknya harus segera dibuat peraturan untuk melindungi peserta magang. Jangan seperti sekarang, pemerintah hanya bisa membuat program peningkatan ekonomi tetapi tidak pernah mikirin dampaknya,” papar Yuliati.
Sebenarnya Yuliati menyuarakan sisi negatif dunia pariwisata tersebut bukan sekadar membela hak anak, tetapi juga ikut menyelamatkan wajah dunia pariwisata Indonesia. “Perlu tahu saja, tahun 2016 Eropa sudah mengumumkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar terjadinya pedofilia. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau negara Eropa melarang masyarakatnya berwisata ke Indonesia lantaran Indonesia dianggapnya surganya para pedofil,” kata Yuliati.
Yuliati mengatakan bahwa ungkapannya ini bagai gunung es. Ia yakin faktanya jauh lebih besar dari yang dia ungkapkan. Ia menyampaikan data bahwa 70 persen atau sekitar 3,5 juta siswa SMK magang, terserap di sektor pariwisata.
Fakta lapangan yang disampaikan Yuliati membuat peserta diskusi prihatin. Mereka bersepakat akan melakukan upaya agar semua hal tersebut tidak semakin masif terjadi. “Saya minta Alit segera mengumpulkan data kemudian menyodorkan kepada Bapak Gubernur. Saya yakin Pak Gubernur akan merepsons positif, karena pemerintah Bali ingin pariwisata berkembang dengan baik tanpa ada dampak buruk seperti itu,” kata Kadek Ariasa, komisoner bidang pendidikan pada KPPAD Provinsi Bali.
Melibatkan Guru Sekolah
Sebenarnya sudah lama Yuliati mendengar dugaan adanya eksploitasi seks dengan korban anak-anak magang. Namun, saat itu belum ada fakta yang tersaji. Sampai akhirnya di tahun 2016 ada satu peristiwa yang menunjukkan kepadanya bahwa sex tourism dengan korban anak-anak SMK bukan isapan jempol.
Saat itu Yuliati tengah berlibur bersama keluarganya di Ubud, Bali. Ia mendapat informasi ada tiga anak-anak berwajah bule bersama ibunya yang warga lokal tengah memulung botol bekas di pasar Ubud. Ia bersama suami dan anaknya kemudian mendatangi ke pasar tradisonal tersebut. Ternyata benar, ia mendapat tiga gadis cilik cantik dengan wajah blasteran Eropa dengan baju kumal membawa karung tengah mengais-ais botol bekas di tempat sampah bersama ibunya.
“Bukan hanya iba, tetapi saya yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres pada ketiga anak ini,” kata Yuli memberi alasan.
Seketika itu juga, Yuliati mengajak ketiga gadis ini ke hotel tempat dia menginap. Ia pun paham mereka adalah tiga bersaudara. Si sulung bernama Lisa Bet Hoesktra, kedua Ester Carolina Hoesktra, dan si bungsu Erina Hoesktra, sedangkan ibunya bernama I Made Ayu Ariani. Setiba di hotel, “Ketiganya saya mandiin, saya keramasin, kemudian saya ajak ke toko. Saya belikan mereka masing-masing dua potong baju,” cerita Yuliati.
Yang lucu, anak bungsunya meminta Yuliati untuk mengadopsi dan mengasuh ketiga anak tersebut, terutama Erina yang paling kecil, sehingga bisa tinggal bersama keluarga besarnya di Surabaya. “Saya maunya memang begitu tetapi ibunya tidak memperbolehkan,” kata Yuli sambil tertawa.
Pertemuan itu membuat hubungan Yuli dengan anak-anak itu menjadi dekat. Yuliati pun mendengar cerita memilukan bahwa mereka miskin dan akhirnya sampai menjadi pemulung akibat korban ketidakharmonisan kedua orangtuanya.
Ceritanya, ibu mereka I Made Ayu menjalin asmara dan menikah dengan Cornelis Hoesktra, lelaki berkebangsaan Belanda.
Pada awalnya semua berjalan baik-baik saja. Lama kelamaan Hoesktra mulai menunjukkan perilaku buruk. Istrinya sering menjadi obyek kekerasan. “Wajahnya sampai lebam-lebam tak karuan karena dipukul suaminya. KDRT ini berhenti setelah Cornelis yang seorang pengusaha itu meninggal dunia tahun 2011,” kata Yuliati.
Soal kekerasan memang sudah berhenti namun keadaan ekonomi I Made Ayu menjadi berantakan, bahkan berakhir menjadi pemulung. “Tapi alhamdulillah saya dibantu kawan saya yang di Belanda menemukan keluarga Cornelis di Belanda. Akhirnya, setiap bulan ada bantuan uang dari Belanda. Memang tidak terlalu besar, cuma sekitar 3-4 juta pe bulan. Tapi, sejak akhir tahun lalu sudah tidak ada kiriman lagi karena saudara Cornelis yang biasa mengirimi uang meninggal dunia,” papar Yuli.
Pertemuan Yuli dengan Lisa dan adik-adiknya juga memberi berkah. Dari sana, Yuli mendapat informasi dari Lisa tentang apa yang terjadi pada siswi SMK yang lagi magang di dunia pariwisata di Bali. “Kebetulan Lisa sempat sekolah sampai kelas 2 SMK meski akhirnya mrotol. Dia tahu di antara teman-temannya melakukan kegiatan negatif seperti itu,” jelas Yuliati.
Bahkan yang membuat Yuliati miris, kedua adik Lisa sempat mau jadi korban paedofilia wisatawan dari Swiss. “Saya bersyukur, Lisa bercerita kepada saya. Saya pun mengawasi mereka berdua sehingga tak sampai benar-benar jadi korban. Sampai saat ini hubungan saya dengan keluarga Lisa menjadi sangat dekat.”
Dari sepenggal informasi Lisa, Yuliati bersama tim Alit melakukan “investigasi”, bukan hanya di Bali saja tetapi di daerah lain. “Ternyata info tersebut memang benar. Bahkan yang sangat memprihatinkan, saya menemukan seorang guru di Banyuwangi mencarikan siswinya lelaki hidung belang. Hasil duitnya digunakan sebagai penopang kebutuhan hidup selama PKL berjalan,” cerita Yuliati.
Temuan Yuliati dan timnya menyodorkan sebuah fakta bahwa sex tourism menjadi bagian yang menyertai kehidupan sektor pariwisata. Fakta yang makin mengundang keprihatinan wisata seks ini melibatkan siswi-siswi magang. Sudah sepantasnya menjadi perhatian kita bersama.(Gandhi Wasono M)