SURABAYAONLINE.CO –Sedikit cerita tentang sahabat saya Mohamad Susilo atau biasa disebut ILO (kode dia sebagai wartawan zaman bauhela/ 1997-2000). Saya klaim sebagai sahabat karena ILO adalah teman satu angkatan di Jawa Pos (April 1997), dua orang pertama satu angkatan (dari total 11 orang) yang dipindah tugaskan dari Surabaya ke Jakarta, teman satu kos di Palmerah dan Rawabelong Jakarta (1997-1998), dan dua orang desa yang barengan kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta (Juli 1997). Kalau ada yang beda: saya dari Pasuruan, ILO orang Jepara. Saya liputan ekonomi (Bursa Efek Jakarta), ILO di DPR dan Polhukam.
Tahun 1997, kami satu kos bahkan satu kamar di daerah Palmerah. Kos di rumah seorang keluarga Betawi (Pak Haji) yang ramah dan baik hati. Baik hati karena tidak pernah ditagih uang kos meski lewat hari. Di situlah awal kami membangun cita-cita dan mimpi. Jika tidak ada liputan, sering jalan-jalan bareng. Biasanya ke Blok M. Dari tempat kos cukup keluar gang, nyetop mikrolet M09 atau M11, turun di Slipi lanjut naik bus no 45. Itu tahun 1997, saya masih hafal, karena dulu setiap hari naik moda transportasi tersebut Zaman segitu, belum ada HP apalagi ojek online. Alat komunikasi paling keren yang kita bawa adalah pager. Dan Jakarta pastinya belum semacet sekarang.
Namanya anak baru dan wong ndeso, ada saja keluguan kami. Mulai dari naik taxi malam hari tidak ada yang berhenti karena yang di-stop yang lampu sign board di atas kap mobilnya mati. Baru ngeh, kalau lampunya mati berarti ada penumpangnya kalau hidup artinya taxi-nya kosong Sampai “dikerjain” para senior di kantor. Tiba-tiba diberi “hadiah” sama managing editor Alfian Mujani untuk nginep di Hotel Ciputra daerah Grogol. “Sebut saja reservasi atas nama Alfian atau Jawa Pos.” Saya dan ILO pun gembira ria karena untuk kali pertama akan tidur di hotel, berbintang pula. Kami pun berkemas membawa tas dan kali pertama naik taxi ke hotel yang dimaksud. Eh sampai di TKP, tidak ada itu reservasi atas nama Bos Alfian atau Jawa Pos. Batal lah kita nginep di hotel dan kembali ke kos di Palmerah. Tentu saja tidak naik taxi, tapi kembali ke laptop naik bus kota lanjut mikrolet M09 jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama. Banyak kepolosan kami awal di Jakarta dan kalau ingat itu semua saya sendiri sampai gak kuat menahan tawa.
Gojlokan (dikerjain senior) seperti tadi hal yang biasa di sini. Tapi niatnya baik, membangun mental wartawan agar berani dan percaya diri. Saya sendiri pernah juga dikerjain senior yang lain, yang sekarang menjadi Bos di salah satu grup media besar nasional. Itu saat saya akan ditugaskan kali pertama ke luar negeri, Thailand (juga pada 1997). Malam hari, satu hari menjelang keberangkatan, si Bos menanyakan jam berapa penerbangan saya ke Bangkok.
“Jam 5 sore Mas,” kata saya.
“Awas macet lho ke bandara bisa batal ke luar negeri. Dari kantor pagi saja,” saran dia.
Namanya juga lugu, hari H saya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta jam 9 pagi dari Palmerah. Wkwkkwkwkw gak ada macet itu. Sampai badara jam 10 pagi dan penerbangan saya masih 7 jam lagi kata orang Jawa sampai bandara saya hanya bisa “ngaploh”.
ILO anaknya pendiam tapi reading habit-nya sangat baik. Setiap habis gajian pasti beli buku. Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang) akhirnya menjadi wartawan andalan di desk politik Jawa Pos. Apalagi saat-saat reformasi, berita ILO hampir setiap hari menjadi headline di halaman pertama. Tahun 2000, saat saya baru saja ditugaskan kembali ke Jakarta, ILO pamit karena akan merintis karir baru. Tidak tanggung-tanggung, dia diterima sebagai wartawan kantor berita Inggris, BBC. Dan yang luar biasa, langsung ditempatkan di London. Sejak tahun 2000 itulah kami tidak pernah lagi bertemu. Beberapa kali berkomunikasi via WA. ILO pernah mewawancarai saya juga ketika meminta tanggapan mengenai kebakaran lahan tahun 2014. Tapi ya hanya komunikasi via WA. ILO saat ini adalah Senior Producer BBC. Pastinya tidak banyak orang Indonesia yang bisa menempati posisi ini.
Tadi malam, kebetulan ILO sedang tugas di Jakarta tiga pekan untuk liputan badminton Indonesia Masters dan kasus Reinhard Sinaga, saya minta waktu bertemu. Kami pun bertemu lagi setelah hampir 20 tahun tak bertemu.
“Sampeyan awet enom dan tetep langsing,” kata saya semalam. ILO tertawa dan menanyakan kapan saya akan menengok dia di negerinya Pangeran William nun jauh di sana. Selamat ILO dan sukses selalu dalam karir dan keluarga.(*)