SURABAYAONLINE.CO, GRESIK – Pembangunan landmark di sejumlah sudut kota, yang semuanya didirikan berkat dana Corporate Sosial Responsibility (CSR) perusahaan yang kebanyakan dibangun di atas lahan aset pemkab mendapat reaksi keras kalangan DPRD.
Sampai saat ini, sudah dibangun tiga landmark. Masing masing CSR PT Wilmar berupa Keris Sumilang Gandring di perempatan Sentolang yang konon bernilao Rp 4,5 miliar.
Landmark Tugu Lontar di perempatan Kebomas, CSR PT Smelting. Terbaru landmark Gajah Mungkur di perlimaan Petro, bantuan CSR PT Petrokimia Gresik sebesar Rp 1 miliar.
Bahkan sebelum puasa, kabarnya kembali akan dibangun landmark Garling aloas gardu suling di depan Gedung GNI, CSR dari PT Pelindo.
Wakil Ketua Komisi I, Syaichu Busiri mengatakan, DPR selama ini hanya melihat, karena eksekutif berdalih memakai dana CSR pihak ke tiga bukan anggaran APBD.
“Mulai perencanaan hingga pembangunan, kita tidak pernah dilibatkan atau dianggap eksekutif kita tidak ada. Padahal meski CSR, tetapi ada landmark yang didirikan di lahan pemkab. Kemudian saat diserahkan ke pemkab, otomatis biaya pemeliharaannya pemda yang nanggung dan itu, tentu saja pakai APBD Gresik,” ujar politikus PKB ini melalui ponselnya, Rabu (22/1).
Semestinya, ujar legislator dari Dapil 1 ini, sebelum membangun eksekutif berkonsultasi dengan DPR. Terutama mengenai pemanfaatan aset milik pemkab. “Kalau sudah seperti ini, kita tidak akan bertanggungjawab karena sejak awal kami tidak tahu menahu soal pembangunannya,” ujar dia.
Selain itu, Syaichu juga menyoroti besaran CSR untuk membangun landmark yang tidak tepat sasaran serta tidak peka sosial. Sebab landmark itu samasekali tidak berdampak sosial terhadap masyarakat.
Anggaran CSR miliaran rupiah itu, tutur Syaichu, sebenarnya bisa digunakan untuk menggeliatkan BUMDes atau memberdayakan perekonomian kerakyatan.
“Misalnya warga dilatih bisnis katering atau kegiatan pembangunan, ekonomi dan pendidikan serta wawasan lingkungan. Yang terpenting adalah tepat sasaran,” tandasnya.
Wakil Ketua DPRD Ahmad Nurhamim, mengaku sudah pernah komunikasi terkait pembangunan landmark. Namun eksekutif, ujar Nurhamim, berdalih mereka tidak berhak mengatur CSR pihak swasta tetwpi hanya bisa mengarahkan saja.
“Padahal dibangun di lahan pemerintah, kalau sudah diserahkan ke pemkab apakah tidak dimasukkan sebagai aset. Pertanyaanya, siapa yang merawatnya, pakai anggaran apa ? Pastinya pemkab yang merawat dengan dana APBD Kabupaten. Hal yang mungkin sepele ini, yang tampaknya tidak mereka pikirkan,” ujar poltikus senior ini.
Ketua DPD Golkar Gresik ini, bahkan merasa khawatir nasib landmark tersebut di masa mendatang. Sebab bisa saja, pemimpin Gresik yang baru risih adanya bangunan yang telah menimbulkan kekecewaan masyarakat luas dan tidak sesuai dengan fakta sejara.
“Kalau dengan berbagai pertimbangan, selain sejarah juga manfaatnya bagi masyarakat tidak ada, kemudian pemimpin Gresik yang baru itu membongkar landmark landmark tersebut, malah runyam semuanya. Seharusnya banyak pertimbangan sebelum membangun, karena Gresik mendatang butuh pelurusan sejarah agar anak cucu kita tidak salah dalam memaknai sejarah nenek moyang mereka,” pungkasnya. (adv/san)