SURABAYAONLINE.CO, Malang (Jatim) – Pajak merupakan penyumbang utama bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pembangunan,maka berbagai strategi di lakukan untuk dapat meningkatkan pendapatan pajak dari berbagai sektor.
Hal ini pula yang di sampaikan oleh Dr.Timbul Hamonang Simanjuntak,SE,MA IC Consultan,IKIP (Litbang) dalam seminar perpajakan 2020 kemarin (18/3/2020) dengan tema “Kupas Tuntas Perpajakan UMKM dan Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak” dalam pres release yang di terima awak media pada hari ini (19/3/2020) ia menyampaikan
“Pertumbuhan ekonomi Jatim Tahun 2019 mencapai 5,52% (BPS) lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,02%. Usaha UMKM sangat besar menopang pertumbuhan ini dengan memberikan kontribusi sebesar 57,52% PDRB dan menyerap TK (Tenaga Kerja) sebesar 98% pada tingkat nasional PDRB Jatim menyumbang 14,92% Dengan kondisi ini tentunya diharapkan berdampak positif pada perkembangan Wajib Pajak baru dan objek Pajak baru demikian pula pada peningkatan penerimaan pajak.
Sayangnya kondisi ini belum di imbangi dengan kesadaran WP(Wajib Pajak) untuk mendaftarkan diri sebagai WP dan membayar pajaknya dengan benar,padahal kepatuhan pajak adalah syarat utama atau kunci penerimaan pajak.
Tidak satupun sistem perpajakan dapat berfungsi dengan efektif tanpa peran serta sebagian besar masyarakat Wajib Pajak, karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak sangatlah penting, Kepatuhan pajak merupakan sebuah perilaku wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku,besar kecilnya tingkat kepatuhan pajak ditentukan oleh beberapa faktor yang bersifat multidimensional,
Salah satu penelitian yang dilakukan penulis (Mukhlis, Simanjuntak 2016), memaparkan sebuah fakta dengan mengedepankan pengamatan mendalam atas fenomena yang diamati.
Fenomena yang diamati tersebut sifatnya mengandung unsur kebaruan, unik dan belum banyak di teliti oleh peneliti yang lain.
Responden dalam penelitian ini adalah pelaku usaha sektor UMKM bidang kerajinan tangan di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur,Indikator kepatuhan pajak yang di gunakan dalam penelitian ini menggunakan indikator kepemilikan NPWP dan indikator yang dikembangkan oleh Brown dan Mazur (2003)
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa rentang usia responden terbesar pada interval usia antara 43 tahun hingga 48 tahun sebesar 33,1%,hal ini menunjukkan adanya potensi yang besar dalam pengembangan sektor UMKM di daerah, karena sebagian pelaku usaha masih dalam rentang usia produktif.
Hasil penting dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan pajak pelaku usaha di sektor UMKM di daerah masih rendah ini ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dari data yang dapat dikumpulkan sebanyak 283 responden, sebesar 79% pelaku usaha sektor UMKM tidak memiliki NPWP selain itu pula berdasarkan tiga indikator kepatuhan pajak yang dikemukakan oleh Brown dan Mazur (2003) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak pelaku usaha sektor UMKM di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Timur Indonesia masih rendah ini didukung dengan respons pelaku usaha atas kuesioner yang disampaikan dimana mayoritas responden menyatakan tidak pernah tepat waktu dalam membayar pajak (42%), tidak pernah tepat waktu dalam menyampaiakn laporan surat pemberitahuan (SPT) pajak (42%) dan tidak pernah bersedia dalam membayar pajak (37%)
Dalam upaya menggali potensi fiskal maka perlu segera dilakukan upaya upaya strategis.
Karakter WP UMKM khususnya usah mikro dan kecil yang tidak memerlukan pendidikan tinggi dan sifat usaha mudah dilakukan, berimbas pada rendahnya pemahaman WP tentang aturan perpajakan demikian pula tentang pelaksanaan hak dan kewajiban WP, bahkan masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan pajak pusat dan daerah dan berasumsi bahwa dengan melunasi pembayaran PBB dan Pajak Kendaraan Bermotor dianggap sudah membayar pajak seluruhnya.
Memahami kondisi ini kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan edukasi pemahaman perpajakan secara tepat, tidak sekedar solisalisasi aturan dan prosedur teknis pemenuhan kewajiban pajak tetapi yang lebih penting adalah terkait pemahaman konsep mengapa masyarakat wajib membayar pajak dan apa manfatnya, sehingga muncul kesadaran baru masyarakat”jelasnya
Lanjut pria yang juga mantan Kepala KPP Krembangan Surabaya dan Bidang Pemeriksaan Kanwil Malang dan Surabaya ini.
“Saat ini dalam upaya lebih meningkatkan kepatuhan pajak, pemerintah mengubah aturan pengenaan PPh Final 1 % menjadi 0,5% dari peredaran sampai dengan Rp 4.8 milyard dalam setahun secara final (PPh Final 0,5 %) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 20018, upaya ini dilakukan untuk lebih memberikan keadilan, kemudahan dengan harapan beban pajak yang ditanggung pelaku UMKM menjadi lebih kecil sehingga pelaku UMKM memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar untuk mengembangkan usaha dan melakukan investasi.
Tentunya masyarakat harus berperan aktif merespon kesempatan ini dengan membayar pajak dan menyadari sepenuh hati bahwa dari penghasilan yang diterima terdapat kewajiban yang harus dikembalikan kepada negara.
Pelaku UMKM yang belum mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak maupun yang sudah terdaftar namun belum membayar pajak dapat memenuhi kepatuhan pajak secara sukarela ( voluntary tax compliance) dengan memanfaatkan fasilitas penurunan tarif pajak yang diberikan oleh Negara,kebijakan ini di landasi pemahaman dimensi ekonomi, dimana wajib pajak dianggap rasional yang selalu melihat untung rugi sebelum memenuhi kewajiban pajaknya.
Namun demikian melihat karakter usaha UMKM, upaya ini nampak belum cukup untuk mengangkat kepatuhan pajak masyarakat,terdapat juga kondisi norma atau moral masyarakat juga kecenderungan prilaku psikologi masyarakat setempat yang yang harus diperhatikan.
Wajib pajak akan merespon positif atas bagaimana otoritas pajak memperlakukan mereka, Khususnya kesediaan moral wajib pajak untuk membayar pajak atau tax morale akan meningkat manakala pejabat pajak menghargai dan menghormati mereka (respect) dan kemudian berdampak terhadap masyarakat yang merasa puas dan meyakini bahwa pajak yang dipungut benar-benar dipergunakan untuk kebutuhan publik Sebaliknya manakala pejabat pajak menganggap wajib pajak semata-mata sebagai subyek yang harus dipaksa (enforced compliance) untuk membayar pajaknya, maka wajib pajak cenderung merespon dengan aktif untuk mencoba menghindar membayar pajak,oleh karena itu diperlukan satu strategi baru dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat, yang menganggap perlunya di berlakukan suatu hubungan saling percaya antara tax authority dengan pembayar pajak, yang kemudian disebut psychological contract (Feld dan Frey, 2009)
Dalam konteks Indonesia pemahaman ini dapat di jelmakan dalam perspektif kebangsaan dimana dalam upaya meningkatkan kesadaran pajak diperlukan satunya pemahaman bahwa pajak merupakan sebuah kontribusi masyarakat dalam kegotong royongan nasional membangun bangsa”paparnya
(Hermin/Red)