Minke.id – Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah dirundung keresahan akibat mencuatnya isu perpecahan antara dua tokoh besar, Prof. A. Malik Fadjar dan Muhadjir Effendy. Kedua figur ini dianggap sebagai pilar utama dalam membangun UMM hingga mencapai kejayaannya saat ini.
Sejak awal berdirinya, UMM mengalami perjalanan panjang dari universitas kecil dengan hanya sekitar 800 mahasiswa hingga kini berkembang menjadi salah satu perguruan tinggi swasta Islam ternama dengan lebih dari 37.000 mahasiswa. Keberhasilan ini tak lepas dari peran Prof. Malik Fadjar dan Muhadjir Effendy, yang dianggap sebagai “jantung dan paru-paru” universitas.
Prof. Malik Fadjar, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), telah meletakkan fondasi kuat bagi pengelolaan UMM. Sementara itu, Muhadjir Effendy, yang juga meniti karier serupa sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, melanjutkan estafet kepemimpinan UMM.
Isu perpecahan ini bermula dari perbedaan pandangan mengenai pembangunan hotel di depan Kampus III UMM. Muhadjir berencana membangun unit usaha sebagai sumber dana universitas agar tidak hanya bergantung pada SPP mahasiswa dan bantuan pemerintah. Namun, Prof. Malik Fadjar awalnya tidak sependapat dan menilai UMM seharusnya tetap fokus pada pendidikan sebagai inti utamanya.
Perbedaan pemikiran ini menimbulkan keresahan di kalangan akademisi UMM. Namun, bagi mereka yang memahami nilai-nilai dasar universitas, perbedaan pendapat adalah hal lumrah dan merupakan bagian dari sunatullah.
Seiring berjalannya waktu, hotel yang dibangun Muhadjir berkembang pesat di bawah kepemimpinan rektor berikutnya, Prof. Dr. Fauzan, yang mengembangkannya menjadi hotel bintang empat dengan tingkat hunian tinggi. Melihat perkembangan ini, Prof. Malik Fadjar akhirnya mengakui bahwa langkah yang diambil Muhadjir adalah ijtihad yang sahih.
Keberhasilan ini mencerminkan prinsip dasar UMM yang selalu menjunjung tinggi perbedaan sebagai bagian dari dinamika akademik. Dengan fondasi tradisi agung berbasis keislaman, kemuhammadiyahan, keindonesiaan, dan kejawaan, UMM terus berkembang dengan harmoni.
Meskipun sempat muncul isu perpecahan, realitasnya UMM tetap kokoh dengan warisan nilai-nilai luhur yang terus dijaga. Sejarah telah membuktikan bahwa UMM mampu beradaptasi dengan perubahan, tetap menjadi institusi pendidikan unggulan, dan melahirkan pemimpin-pemimpin nasional.
Sebagai kampus yang dikenal dengan sebutan “Universitas Magang Menteri,” UMM akan terus berkontribusi bagi bangsa dengan semangat inovasi dan kebersamaan yang telah diwariskan oleh para pendirinya.