Oleh: Catur Prasetya
SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Peristiwa 10 November 1945 merupakan tonggak bersejarah bagi Indonesia, sekaligus menjadikan Surabaya sebagai “Kota Pahlawan”. Kematian Brigjen Mallaby menggemparkan dunia. Bung Tomo bersama Mayjen Sungkono, Mayjen Moestopo, Roeslan Abdul Gani, dan dukungan ulama, khususnya KH. Hasyim Ashari dengan fatwa “jihadnya” berhasil memotivasi pemuda dan arek Surabaya melawan tentara Inggris saat itu.
“Spirit Surabaya menjadi spirit Nasional”. Sehingga patriotisme yang ditunjang rasa nasionalisme sering bermula dari kota Surabaya, dan menjadi karakteristik dengan istilah “Arek”.
Dengan jumlah penduduk 2,9 juta jiwa yang 50% usia berada di bawah 30 tahun, Surabaya akan memperoleh Bonus Demografi 10 tahun ke depan. Bonus Demografi akan menjadi berkah jika dipersiapkan sejak sekarang, namun akan menjadi musibah jika lalai mengantisipasinya. Penentuan kepemimpinan pasca Risma menjadi kunci keberhasilan Surabaya di masa depan.
Luas wilayah Surabaya hanya 49% dari Jakarta (326,36 Km2), dan jumlah penduduknya 2,9 juta jiwa atau 28% dari penduduk Jakarta. Surabaya dipimpin oleh Tri Risma Harini terbilang sukses dari segi pembangunan lingkungan, baik pertamanan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan pedistrian yang banyak memperoleh penghargaan tingkat nasional maupun global.
Keberhasilan di bidang lingkungan tidak ditunjang pada aspek ekonomi, khususnya yang menyangkut ekonomi rakyat (UMKM). Walau tumbuh 7,6% (tahun 2019) tapi kesenjangan sosial semakin merebak dan keberpihakan kepada UMKM dinilai terbatas.
Surabaya tergolong kota tua karena sudah berusia 727 tahun di tahun 2020 ini, dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sekitar Rp 5 Triliun (50% dari nilai APBD), dan dianggap berhasil mewujudkan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan. Walau begitu masih dikritik soal: pengendalian banjir, kemacetan lalu lintas, kesenjangan sosial, dan pengangguran yang menjadi catatan khusus Tri Rismaharini sebagai orang No.1 di Surabaya.
Selama 10 tahun kepemimpinannya, berapa angka kemiskinan dan pengangguran? Seberapa besar kekuatan APBD Surabaya yang dipakai untuk mengintervensi agar ekonomi tumbuh di sektor UMKM, kelompok Nelayan, warga miskin kota dan untuk menyediakan lapangan kerja/perang terhadap pengangguran?
Tercatat juga, baru Surabaya yang menolak kehadiran tol dalam kota sepanjang 25 km pada tahun 2010 (era Susilo Bambang Yudhoyono). Dikhawatirkan akan menggusur 4500 rumah warga di 31 kecamatan, rakyat berembug dan menolak pembangunan tol dalam kota.
Sampai tahun 2013 (era Joko Widodo) pemerintah pusat meloby Tri Rismaharini karena pembangunan tol dalam kota Surabaya sudah masuk agenda nasional, dan bagian dari Trans Jawa. Dengan alasan penolakan berbasis lingkungan, hal ini menjadi “khas Surabaya” dengan solusi alternatif pembangunan jalan kota.
Pembangunan Frontage Road Barat dan Timur (jalan baru), Middle East Ring Road (MERR), lingkar luar barat dan timur dikebut penyelesaiannya. Pemerintah Kota juga mempercepat Angkutan Massal Cepat (AMC), Monorel dan Trem menjadi pilihan Risma dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Surabaya.
Kepemimpinan Tri Rismaharini (2010 – 2020)
Sebagai perempuan pertama yang menjadi Walikota Surabaya, tentu menjadi “strong point” popularitas Risma sebagai walikota dan kemudian terpilih sebagai Presiden Asosiasi Pemerintah Kota dan Daerah se-Asia Pasifik (UCLG-ASPAC) pada September 2018, menggantikan Gubernur Provinsi Jeju, Korea Selatan (Won Hee Ryong).
Kepemimpinan bergaya transformatif, dan komunikasi secara transparan, serta bergaya khas “Arek” berhasil mengubah lingkungan kerja, motivasi pekerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja atau etos kerja ke arah good governance. Ketegasan dan “kecerewetan”nya yang viral di saat menegur suatu perusahaan yang merusak Taman Bungkul menjadikan Risma popular dengan gaya kepemimpinannya yang khas Arek Suroboyo.
Di sisi lain, kelemahan Risma juga menjadi sorotan publik, karakter yang cenderung meledak-ledak di depan publik seringkali tidak patut dipertontonkan. Risma akan berlebihan jika sudah menyangkut partainya, reaksinya kepada calon independen (non partai) sebagai “haus jabatan”, dan kritikannya tentang “sampah di DKI” terkesan subjektif dan kurang elok sebagai sesama kepala daerah. Membandingkan persoalan Jakarta dengan Surabaya memperlihatkan ketidakmatangan Risma sebagai pemimpin.
Apapun itu, Risma berhasil dengan e-Government, Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengelolaan lingkungan dan sampah, penutupan lokalisasi “Gang Dolly”, pembangunan Monorel dan Trem (yang akan datang), dan mengubah kedisiplinan masyarakat, namun juga lemah dalam banyak hal.
Walaupun ekonomi tumbuh 7,6% di tahun 2019 (di atas rata-rata yang hanya 5,4%), namun kesenjangan sosial semakin menganga di Kota Surabaya. Seperti halnya di tingkat nasional; Surabaya dibangun oleh para taipan, sehingga UMKM berjalan di tempat. Masalah banjir dan reklamasi pantai Timur menjadi diskusi warga Surabaya. Protes paling keras karena Risma tidak berhasil mempertahankan rumah Bung Tomo (cagar budaya/heritage) dari cengkeraman pengusaha properti.
Risma juga dianggap kurang perhatian dalam membangun dan menata lingkungan kumuh, sehingga dianggap tidak banyak berbuat pada kesenjangan sosial di kota Surabaya. Keberpihakannya pada partainya sebagai “petugas partai” terkesan subjektif jika persoalan kota yang menyangkut dan terkait partainya.
Kita masih ingat ketika aktivis wanita yang dijambak rambutnya oleh oknum Banser ketika demo “Ganti Presiden” di awal 2019, Risma tidak bereaksi. Begitu juga ketika demo aktivis Surabaya terhadap asrama Papua yang berbuntut kerusuhan dan menghukum seorang aktivis wanita, kembali Risma tidak peduli. Padahal hal itu bagian dari rasa nasionalisme Arek Suroboyo yang anti gerakan separatis. Sebagai Walikota yang juga pembina partai politik (parpol) di Surabaya, Risma “kurang perhatian” pada parpol pada umumnya, perannya sebagai pembina politik kota Surabaya dianggap minim.
Gaya kepemimpinan yang emosional, tegas, dan otoriter yang ditonjolkan menjadi ciri khas Risma memimpin Surabaya. Terkesan negatif jika berbasis norma kepemimpinan secara nasional, namun dengan gaya “servant leader” yang optimal dalam melayani publik, seluruh kelemahan Risma tertutupi, walau tidak bernilai “Excellent”, cukup dan mendekati baik. Terkesan Risma apolitis, dan hanya mendukung dan menjalankan misi partai secara politis. Hal ini bertolak belakang dalam “servant leader” yang menjadi ciri dirinya untuk pembangunan kota Surabaya.
Surabaya pasca-Risma
Tantangan Walikota Surabaya pasca-Risma adalah situasi ekonomi yang tidak menentu, dan cenderung resesif karena Coronavirus. Dengan terbukanya pemerintah pada “suspect” Corona, menjadi permasalahan tersendiri, dan Indonesia terkena dampak Corona pada ekonomi kita yang memang sudah morat-marit. Mitigasi ekonomi menjadi PR-utama pengganti Risma. Antisipasi dampak Coronavirus adalah kemampuan pengganti sebagai kandidat karena dunia termasuk Indonesia dalam krisis ekonomi. Dalam keadaan normal saja sudah berat, apalagi dalam keadaan krisis.
PR berikutnya yang cukup berat adalah Sertifikat Ijo, tuntutan legalitas dari rakyat Surabaya terhadap hak atas tanah negara yang sudah ditempati sekian lama. Risma belum mampu menyelesaikannya, karena harus duduk semua stakeholder kota Surabaya maupun pusat karena menyangkut aset negara. Pengganti Risma harus berani di belakang rakyat, karena ini akan menjadi tuntutan utama “grassroot” Surabaya.
Kemampuan dalam ekonomi harus menjadi prasyarat kandidat pengganti Risma. Tetap fokus pada pembangunan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, serta concern mengurangi ketimpangan sosial dengan lebih perhatian pada Sektor UMKM dalam pembangunan ekonomi kota Surabaya.
Kandidat pengganti Risma dibebani situasi yang tidak kondusif secara ekonomi, yang tentu berdampak pada manusia maupun ketaatannya pada hukum. Sementara dengan dominannya penduduk berusia muda (<30 tahun) menjadi tantangan tersendiri. Apakah memperoleh Bonus Demografi, atau musibah secara demografi di masa mendatang?.
Kepemimpinan berkarakteristik “solidarity maker” diperlukan jika keadaan tidak kondusif. Bagaimana menyatukan visi dan misi pengusaha (taipan) dan publik Surabaya agar bahu-membahu melewati krisis yang akan terjadi.
PR berikutnya bagi pengganti Risma, harus bisa membawa Surabaya menjadi kota metropolitan setelah Jakarta. Pembangunan pelabuhan Lamongan sebagai pelabuhan ke-empat dunia yang dioperasionalkan secara digital akan mendorong Surabaya sebagai kota Metropolitan.
Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam kebijakan dengan Kepala Daerah kota penyangga Surabaya, seperti: Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, dan Lamongan juga menjadi kunci keberhasilan pengganti Risma dalam skema Gerbang Kertosusila (metropolitan) dimana Surabaya pusat dari segala aktivitasnya.
Kehandalan kepemimpinan dan komunikasi politik, kepemimpinan yang berciri solidarity maker dan mempunyai visi dalam mitigasi ekonomi adalah kualifikasi yang dibutuhkan sebagai pengganti Risma.
Tantangan Pilkada di saat krisis, diharapkan publik Surabaya harus lebih hati-hati dalam menentukan kandidat pengganti Risma. Sebelum terlambat publik Surabaya masih punya waktu untuk menemukan sosok yang tidak jauh dari kualifikasi yang diharapkan.
Kepekaan terhadap sejarah, heritage, dan cagar budaya Surabaya sebagai kota Pahlawan juga harus dimiliki kandidat pengganti Risma agar tidak menjadi ahistoris dan tidak memperoleh dukungan dari grassroot Surabaya. Publik Surabaya “traumatik” dengan kehilangan rumah Bung Tomo untuk pembangunan properti dan “care” terhadap cagar budaya.
Heritage adalah roh dan jiwa yang patriotik “ciri“ arek yang menjadi tulang punggung penggagalan upaya Belanda membatalkan kemerdekaan Republik Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1945. Dengan isu Republik Indonesia zonder tentara sehingga tidak memenuhi syarat sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Belanda membonceng tentara Inggris (Wakil PBB) untuk menguasai kembali Indonesia. Rakyat Surabaya berhasil mengagalkan upaya Belanda, walau berkorban nyawa.
Di tahun 1945, pemuda, ulama, dan tentara bahu-membahu mengorbankan nyawa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang mau dibatalkan Belanda, sehingga spirit Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan harus menjadi pilar dari visi dan misi kandidat pengganti Risma.
Spirit “Pahlawan” menjadi ciri pembeda kepemimpinan di Surabaya, jiwa patriotik oleh nasionalisme harus menjadi karakteristik yang dipadu dengan “kecerdasan” berbasis teknologi (smart city).
Surabaya sebagai pionir penerapan e-government (terbuka) dan terukur dengan publik kritis dan meledak-ledak harus menjadi referensi utama kandidat pengganti Risma di Pilkada 2020.(*)