SURON.CO, Surabaya – Suasana Kampung Peneleh di depan area Makam Peneleh terasa berbeda dari biasanya. Hal ini lantaran diadakan Festival Pasar Rakjat dan Lajar Tantjep.
Stan-stan UMKM makanan dan kerajinan warga sekitar tertata rapi di depan makam. Panggung besar sekaligus Lajar Tantjep juga meramaikan festival yang berlangsung selama dua hari itu, yakni Jumat-Sabtu (7-8/7).
Sebelum menyaksikan Lajar Tantjep, film mengenai sejarah yang dibuat oleh Begandring Soerabaia, warga tampil membawakan tarian dan fashion batik yang dibuat di Kota Pahlawan.
Sambil menonton film, pengunjung bisa menikmati sajian makanan dari UMKM yang ada. Terlihat, pengunjung pun antusias dengan festival di Kampung Peneleh yang baru pertama kali digelar ini.
Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan, festival ini merupakan kick off atau awal dibukanya Kampung Wisata Sejarah Peneleh Surabaya. “Festival ini sebagai pemantik wisata heritage di Surabaya, termasuk juga untuk mendobrak ekonomi,” kata Wiwiek.
Kata Wiwiek, kurang lebih ada 20 UMKM yang bergabung di festival yang digelar Pemkot Surabaya bersama Begandring Soerabaia. Wiwiek menjelaskan, Kampung Wisata Sejarah Peneleh juga akan dikoneksikan dengan wisata perahu Susur Kalimas. Sehingga pengunjung yang naik perahu dari Taman Prestasi bisa meneruskan rute hingga ke Peneleh.
“Kami perpanjang rute susur Kalimas sampai ke Peneleh. Karena ini salah satu kawasan yang banyak menjadi saksi sejarah. Di sini ada rumah lahir Bung Karno, rumah HOS Cokroaminoto dan sejarah lainnya, termasuk Makam Penelehnya,” ujar Wiwiek.
Paket wisata Kampung Peneleh ini juga sudah disiapkan oleh pihaknya. Wisata sejarah Kampung Peneleh akan dipusatkan di Lodji Besar, sebuah cafe yang berkonsep rumah lama dengan khas bangunan Belanda.
Sementara itu, Inisiator Begandring Soerabaia, Kuncarasono, mengungkapkan, festival yang digelar dua hari ini untuk membangkitkan lagi semangat warga kampung Peneleh.
“Ini momen pemantik apatis menjadi responsif, karena kebiasaan setiap hari itu-itu saja. Akhirnya masyarakat di sini jadi bosen dan menganggap hal biasa. Tetapi, ketika ternyata memberikan makna bagi orang lain mereka jadi semangat lagi,” terang Kuncar.(*)