SURON.CO, Surabaya – Pemerintah berencana menghapuskan kredit macet UMKM. Tahap pertama dikhususkan untuk debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan batas maksimal Rp 500 juta.
Menanggapi rencana kebijakan itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya) Bambang Budiarto mengatakan, rencana terkait penghapusan ini harus dijelaskan dengan detail. Sebab, dalam hal penghapusan kredit macet, ada istilah hapus buku dan hapus tagih. Keduanya memiliki makna yang jauh berbeda.
“Hapus buku itu seperti kita bersihkan file di laptop. Sedangkan hapus tagih itu seperti situasi di recycle bin. Kalau tidak ada hapus tagih dan hanya hapus buku, maka bank masih punya hak untuk menagih. Sebab bank tidak kehilangan hak atas piutang-piutangnya,” kata Bambang.
Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Surabaya itu mendorong pemerintah untuk menjelaskan secara rinci apakah hanya hapus buku, hapus tagih, atau hapus kedua-keduanya. “Kalau kedua-duanya dihapus, pelaku UMKM boleh senang,” jelasnya.
Bambang menjelaskan, jika berpijak dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), rencana penghapusan kredit macet ini memungkinkan untuk dilakukan.
“Masalahnya, kenapa kok tarik ulur? Sebab, adanya kekhawatiran dari pengambil keputusan di bank, bahwa kebijakan ini memberikan dampak di kemudian hari, atau 10-15 tahun ke depan menjadi masalah. Jadi yang diperlukan adalah kekuatan hukum yang lebih tinggi dari hal ini,” terangnya.
Ia mencontohkan jika kelompok atau unit yang sebenarnya tidak perlu diberikan pembebasan piutang, namun diberikan pembebasan. Aspek inilah yang berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.
Meski masih menjadi tarik ulur, Bambang menyebut penghapusan kredit macet ini sejatinya menguntungkan berbagai pihak. Baik pelaku UMKM maupun pihak bank. Apalagi bantuan seperti ini sudah dilakukan pemerintah saat pandemi Covid-19 lalu. “Jadi bagi UMKM tentu saja menguntungkan, bagi perbankan sebenarnya juga menguntungkan,” jabarnya.
Namun dalam klausul harus ada penagihan dulu. Setelah ditagih, jika tidak bisa, baru ada penjadwalan atau penyesuaian. Jika masih macet, baru dieksekusi melalui pembebasan kredit.
“UMKM ini sedang tumbuh. Mereka menciptakan tiga multiplier; yakni employment, income, dan economy. Jika mereka mengalami hambatan, dibantu dengan pembebasan. Setelah clear, mereka bisa beraksi lagi dan bisa membantu pertumbuhan ekonomi,” paparnya.
Selain membuat pelaku UMKM full senyum, Bambang menegaskan bahwa kebijakan ini juga menguntungkan pihak bank sebagai kreditur atau pemberi pinjaman.
“Ketika penghapusan kredit itu dilakukan, maka selanjutnya ada pergerakan kembali. Duit bergerak, pelaku usaha bergerak. Ini yang saya pikir menjadi lebih baik dari sisi krediturnya,” jelasnya.(*)