Catatan oleh Hadi Prasetyo
SURABAYAONLINE.CO
Penjual bakso bersitegang dengan istrinya. Pasalnya, masih sore seluruh dagangan sudah habis terjual. Biasanya sampai pukul 22.00. Sang istri ngotot, meminta warungnya tetap buka, bisa menjual bakso jatah besok, karena masih banyak pelanggan yang datang. Tapi suaminya meolak: “Kasihan pedagang (bakso) lain. Jatah kita sudah cukup hari ini. Kita tak boleh serakah,” katanya.
Sifat arif pedagang bakso yang demikian sudah semakin langka. Bahkan orang yang super-kaya sekalipun, terkadang tidak mampu meneladani sifat ‘membatasi diri’. Seperti meminum air laut, terus marasa dahaga.
Apakah kekayaan mereka yang sedemikian berlimpah masih dirasa kurang? Atau mereka ingin memastikan kelangsungan hidup mereka hingga kesejahteraan keluarganya sampai turunan ke-tujuh?
Dari semua alasan, tidak ada satupun yang secara khusus beralasan untuk membagikan kelebihan harta mereka (dari hasil kerja “hobi”) untuk membantu mengatasi masalah negara. Kemiskinan, ketidak-adilan, kelaparan, perbaikan ekosistem lingkungan , degradasi moral, dsb dsb.
Lantas bagaimana dengan CSR (community social responsibility) perusahaan mereka? Sepertinya, CSR juga tidak pernah lepas dari (dan selalu kembali kepada insting “keuntungan” bisnis diri sendiri) seperti misal: promosi main business, dapat dukungan sosial untuk keberlangsungan bisnis utama mereka , dapat pujian murah hati (walau mereka umumnya tidak sepenuh hati-who knows), atau sekedar buat foundation kecil-kecilan agar dianggap bermoral.
Di jaman modern ini, DNA manusia sebagai homo economicus mungkin memang semakin mengedepan. Runyamnya, faktor egoisme built in alias tertanam didalamnya. Maka ini seperti katalisator lompatan tidak terbatas. Yang kapitalis akan makin ultra-kapitalis.
Seperti hal-nya terjadi di lingkungan Kemendag yang kini lagi viral, salah satu pejabatnya jadi tersangka penyelewengan fasilitas ekspor minyak goreng (migor). Entah apa motivasi mereka hingga tega memberi fasilitas ekspor di tengah kasat mata ribuan wanita berpeluh karena berjejal antri giliran membeli migor.
Demikian juga peminta fasilitas ekspor, sudah sedemikian kaya-raya masih memilih menjual migor-nya ke luar negeri demi keuntungan yang maha besar. Tidak-kah sedikit tergerak hatinya melihat antrian emak – emak berjubel, berjuang mendapatkan (membeli) seliter – dua liter migor?
Tidak-kah menyadari bahwa produk migor (di tingkat hilir) sudah mengambil sebagian kelestarian lingkungan alam hasil tindak oknum deforestasi di tingkat hulu – sebagai bahan baku migor ? Tidak-kah disadari bahwa praktek political-connection antara pejabat pemberi ijin dan penegusaha peminta ijin telah mendistorsi sistem perekonomian rakyat (bisnis kuliner dan tukang gorengan) yang bergantung pada migor ?
Memang mungkin kembali ke premis, bahwa mereka ingin memastikan kelangsungan hidupnya yang kaya hingga turunan ke-tujuh.
Hasil dari bekerja adalah uang. Hasil dari uang adalah lebih banyak uang. Hasil dari lebih banyak uang adalah kompetisi yang ganas. Hasil dari kompetisi yang ganas adalah dunia yang kita diami ini.
Empat dasawarsa yang lalu, Francis Fukuyama sudah mengingatkan pergeseran besar landscape kebudayaan manusia dalam bukunya The End of History.
Tawaran Fukuyama dari risetnya, untuk menghadapi makin ‘liar”nya landscape kebudayaan adalah menghidupkan kembali nilai-nilai moralitas kebaikan kemanusiaan. Tentu melalui pencerahan dan pengamalan berdasarkan iman kepercayaan masing – masing dari semua agama.
Merenungkan semua ini, saya tertegun, melamun, mengantuk, hingga akhirnya tertidur. Karena bisikan kata-kata nina bobok: “mungkin besok pagi, ketika bangun, masih ada harapan bagi bottom of the pyramid untuk berkesempatan menikmati setitik kebahagiaan. Walaupun hanya seperti sekilas hembusan angin sejuk yg berlalu“.
(Hadi Prasetyo, pemerhati masalah sosial – ekonomi, mantan pejabat Pemprov Jatim)
Editor : Fahmi Alfian